Langsung ke konten utama

Postingan

Hari Ini

  Selamat pagi Bulan Mei, rasanya sudah sangat lama. Lama yang membuatku lupa tentang bagaimana rasanya sakit kepala di meja kerja. Lama yang membuatku hari ini bertanya, apakah benar aku dulu juga bekerja seperti mereka? Sayangnya aku sudah benar-benar lupa. Tapi aku ingat sekali rasa lelah di masa-masa itu. Bina fisik persis setelah adzan subuh yang bahkan ayam-pun masih enggan mencari makan. Teriakan-teriakan menyebalkan, baju hitam-hitam, dan semuanya. Saat itu tugasku hanya harus belajar dengan sungguh-sungguh. Tak perlu sibuk mengisi portofolio dan menyusun map berisi surat lamaran kerja. Orang tuaku, tunggu sebentar lagi. Sedikit lagi kalian tak perlu menghitung-hitung uang untuk biaya bulananku. Dan sedikit lagi aku akan mengenakan seragam dinas yang sangat ingin kalian lihat dariku sejak dulu. Seragam dinas berpangkat putih dengan brevet Samapta mengkilap. Lengkap dengan nametag berisi satu kata namaku yang terpasang di sebelah kanan. Seragam dinas itu, seragam bir

Menjadi

Setelah sekian hari yang kukira tak akan pernah menulis lagi, *** Ya Allah, bagaimanakah menjadi seorang Istri itu? Apakah menjadi seorang Istri berarti selalu memutar kunci dan membuka pintu untuk menjadi yang pertama kali dilihat oleh Suaminya ketika pulang? Apakah itu berarti aku harus mengisi meja dengan nasi setiap hari agar tak perlu lagi lelakiku berpikir makanan apa kiranya yang menjadi menunya hari ini dan esok hari? Apakah menjadi Istri artinya Abi bukan lagi menjadi imam bagiku dan Ibuku di rumah kami? Bagaimana sebenarnya menjadi seorang Istri itu? Lalu, Bagaimana kiranya menjadi seorang Ibu? Apakah Ia adalah seorang wanita yang pasti selalu mensyukuri nikmat dari pemberian Rabb-nya? Apakah Ia adalah seorang wanita yang pantang patah dan menangis demi anaknya tak menjadi serentan dirinya? Dan, apakah seorang Ibu adalah Ia yang tak pernah memaksa anaknya untuk melepas genggaman tangan dan menutup telinga dari tangisannya demi harus segera kembali berang

Seharusnya

Dari awal sudah bakatku untuk tidak suka bertanya-tanya. Tidak pernah aku bertanya kenapa harus makan siang bukannya tidur atau bermain saja. Dan tidak pernah juga aku bertanya kenapa kami hanya di sini bertiga. Saat itu dunia rasanya adil sekali. Meskipun lebih sering bermain sendiri, tapi tangan dan kakiku tidak pernah mengenal sakitnya pukulan sapu. Saat itu kiri kananku adalah orang-orang baik. Aku mempercayakan awal hari hingga tidurku pada mereka semua. Bersama mereka, hidupku pasti baik-baik saja. Mbah Uti berteriakpun, aku menyukainya karena teriakan itu pasti untuk kebaikanku. Agar aku mau pulang, agar aku mau makan siang. Saat itu, aku tidak bertanya jam berapa Ayah akan pulang. Aku yakin bahwa siang atau sore, Ia pasti segera datang dan bertanya bermain apa aku seharian. Dengan bermain kertas kartun yang sama, kupasang dan kulepaskan lagi berulang kali. Saat itu meskipun aku sering ditinggalkan, tapi aku tau bahwa kakakku pasti kembali. Meskipun lama Ia bermain dengan seba

Semoga Saja

  Semuanya. Tanpa kecuali. Dunia adalah apa saja yang ia perlihatkan padaku. Aku melihat dengan kedua matanya, berbicara dengan bahasanya, dan menyukai semua yang ia sukai. Aku menulis karena ia menulis, aku diam karena ia juga diam. Sejatinya, ia bukan sesuatu yang hebat. Tapi sebaliknya, aku selalu ingin menulis balok huruf seperti barisan huruf-hurufnya. Miring sepersekian derajat, kecil, dan rapi. Sejak kecil ia pandai berhitung dan pandai memilih-milih warna. Sekilas ingatan tentang rumah dan lembah yang ia gambar enam belas tahun lalu masih menjadi contoh terbaik meskipun aku lupa apa-apa saja warnanya. Aku iri dengan semua yang ia miliki. Kenapa ia punya kotak pensil sedangkan aku tidak? Kenapa ia memakai handphone tapi aku tidak? Dan, kenapa ia harus berkuliah jauh dan meninggalkanku sendirian? Tidak ada yang pernah membantuku untuk menjawab semuanya. Kemudian tas bajunya yang tergeletak di lantai menjadi sesuatu yang amat berharga. Ia pulang. Membawa banyak cerita

Memilih Peran

Sekeras apapun volume televisi, tombol mute menjadi satu-satunya keputusan saat speaker masjid mulai menyala siang-siang di luar jam adzan. Sepertinya bukan hal baik, pikirku. “innalillahi wa innailaihi roji’uun, innalillahi wa innailaihi roji’uun” Beberapa detik setelah pengumuman selesai, televisi tidak lantas langsung menyala lagi. “Siapa tadi?”, tanya mereka. “Orang mana?”, katanya sekali lagi, memastikan. Seakan-akan hari dimana pengumuman itu terdengar bukanlah hari yang baik. Semua suara dikecilkan. Para ibu mengambil hijab dan beberapa gelas berasnya untuk diberikan pada keluarga yang berduka. Itu dulu. Hari ini pengumuman itu terlalu banyak, benar-benar setiap hari. Beruntung bagi mereka yang semakin sering mendengar itu semakin takut dan berbenah hatinya. Dan sayang sekali, ada mereka yang semakin sering mendengar malah semakin menjadi biasa. Semakin mengeras hatinya karena lampu kota dimatikan, semua jalan ditutup, lalu Senin terasa seperti Selasa, dan Kamis sama se

Bicara

  “Lupa adalah benang dari-Nya untuk menjahit luka yang sudah seharusnya ditutup” ***  Tentu semua ada asalnya. Termasuk bagaimana bisa siswi SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial justru benci bersosialiasi, mengerjakan tugas kelompok sendiri, susah tertawa, dan banyak diamnya. Masih jelas sekali tentang janji latihan pukul satu siang tapi mereka tak nampak-nampak juga. Aku yang sulit memaklumi itu langsung ambil setir dan pulang tanpa memberi toleransi sepuluh atau lima belas menit kepada anggota drama kelas tiga itu. Beberapa orang yang sudah datang dan melihatku pulang mungkin bingung kenapa kami malah bertemu di arah jalan yang berlawanan. Sudahlah. Aku pulang. Sedikit yang aku ingat saat itu aku menangis saja di kamar setelahnya. Ayah Ibu bertanya kenapa tapi pasti memahami bahwa mereka tidak akan mendengar apa jawabannya. Tak lama, datang rombongan kawan latihan yang menanyakanku pada mereka. Kenapa pulang? Kenapa tidak latihan? Dan kenapa aku? Aku tidak suka mengatur, tidak

Hutang

  Ada masa dimana kami selalu bersama-sama. Tidak masalah tentang duduk di lantai atau dimana saja, kami meyimak layar televisi yang entah saat itu memutar apa, aku sudah lupa. Tidak berebut remote juga karena memang tidak ada. Saat itu ruangan cukup luas dengan hanya televisi saja yang bersuara, lengkap dengan satu dua anak-anak usia dini yang diam saja karena tidak paham tayangan macam apa yang diputar di depan sana. Terang saja, aku masih empat tahun saat itu. Di sana, laki-laki dan perempuan hampir sama saja. Bedanya mungkin hanya ketika sholat Mas Denis dan Mas Fatkul bersarung sedangkan Mbak Tiara dan Mbak Wahyun bermukenah. Permainan apa saja, kemana saja, selalu bersama-sama. Sampai lama kupikir dunia memang baik-baik saja. Lihat, mereka saling membantu dan tidak memberi spasi untuk memikirkan diri sendiri. Bersama dengan saling memberi, sama-sama tidak punya, dan banyak lagi. Saat itu nakal hanya sebatas malas berangkat mengaji atau kabur keluar diam-diam. SMA, sekeliling kami